Menumbuhkan minat membaca adalah suatu hal yang akan selalu mengemuka. Rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Dampak yang dirasakan saat ini adalah menurunnya minat membaca terutama dikalangan pelajar, dampaknya antara lain berupa misalnya orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca pasti akan tertinggal dari informasi yang bersifat ilmiah. Buku berbeda dengan televisi, karena televise hanya memberikan informasi yang terbatas, sifatnyapun tidak kekal, dan cenderung mudah dilupakan apabila ada informasi yang lebih terbaru.
Dalam ranah kehidupan, baik secara pribadi maupun sosial, membaca memegang peranan penting untuk percepatan efektivitas kehidupan. Dalam jurnal Samsuri (2016), Covey menegaskan bahwa satu dari tujuh karakter pribadi yang sangat efektif adalah orang selalu mengasah gergaji (sharpener the saw). Dengan selalu mengasah gergaji maka seseorang akan menjadi selalu meningkat (upgrade) dan selalu terbarukan (update) dalam pemikiran (mindset), keterampilan (skills), sikap (uptitude), dan kebiasaan (habit). Sikap dan kebiasaan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Budi pekerti dalam pengertian yang terluas adalah pendidikan, dengan kata lain budi pekerti mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk tindakan. Penerapan tindakan berarti memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup yang sangat berperan dalam pembelajaran budi pekerti. Salah satu cara penanaman budi pekerti pada anak dapat melalui buku-buku cerita.
Penumbuhan budi pekerti dapat dimulai sikap suka untuk melakukan sesuatu. Cara yang dapat dilakukan dengan pembiasaan dan latihan. Pembiasaan dalam pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Komitmen keempat pihak di atas sangat dibutuhkan untuk membangun persepsi positifdemi terwujudnya pendidikan yang efektif. Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif akan membantu penumbuhan budi pekerti.
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai. Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di Indonesia.
Penanaman nilai- nilai budi pekerti di sekolah untuk saat ini memang sudah mengalami kemunduran. Data empiris membuktikan bahwa gurupun sudah merasa enggan menegur anak didik yang tidak sopan di sekolah. Anak didika seringkali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesame teman, bahkan ada sekolah yang tidak berani mengeluarkan anak didiknya yang sudah jelas- jelas menggunakan naarkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kurikulum mulok sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Materi tersebut diintegrasikan kedalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn dan agama. Rasanya masih kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah amat mahal dan langka pada masa kini.
Bagaimanapun, krisis mentalitas, moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan krisis-krisis lain yang dihadapi pendidikan nasional kita umunya. Karena itu, kalau kita mau menilai secara lebih adil dan fair—meskipun makro—krisis mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umunya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan moral di antara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan---khususnya jenjang menengah dan tinggi—bagaimanapun, merupakan cermin dari krisis mentalitas dan moral dalam measyarakat lebih luas.Sebab itu pula, bisa pula diasumsikan, bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu, tidak memadai jika dilakukan hanya di Menumbuhkan minat membaca adalah suatu hal yang akan selalu mengemuka. Rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Dampak yang dirasakan saat ini adalah menurunnya minat membaca terutama dikalangan pelajar, dampaknya antara lain berupa misalnya orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca pasti akan tertinggal dari informasi yang bersifat ilmiah. Buku berbeda dengan televisi, karena televise hanya memberikan informasi yang terbatas, sifatnyapun tidak kekal, dan cenderung mudah dilupakan apabila ada informasi yang lebih terbaru.
Dalam ranah kehidupan, baik secara pribadi maupun sosial, membaca memegang peranan penting untuk percepatan efektivitas kehidupan. Dalam jurnal Samsuri (2016), Covey menegaskan bahwa satu dari tujuh karakter pribadi yang sangat efektif adalah orang selalu mengasah gergaji (sharpener the saw). Dengan selalu mengasah gergaji maka seseorang akan menjadi selalu meningkat (upgrade) dan selalu terbarukan (update) dalam pemikiran (mindset), keterampilan (skills), sikap (uptitude), dan kebiasaan (habit). Sikap dan kebiasaan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Budi pekerti dalam pengertian yang terluas adalah pendidikan, dengan kata lain budi pekerti mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk tindakan. Penerapan tindakan berarti memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup yang sangat berperan dalam pembelajaran budi pekerti. Salah satu cara penanaman budi pekerti pada anak dapat melalui buku-buku cerita.
Penumbuhan budi pekerti dapat dimulai sikap suka untuk melakukan sesuatu. Cara yang dapat dilakukan dengan pembiasaan dan latihan. Pembiasaan dalam pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Komitmen keempat pihak di atas sangat dibutuhkan untuk membangun persepsi positifdemi terwujudnya pendidikan yang efektif. Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif akan membantu penumbuhan budi pekerti.
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai. Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di Indonesia.
Penanaman nilai- nilai budi pekerti di sekolah untuk saat ini memang sudah mengalami kemunduran. Data empiris membuktikan bahwa gurupun sudah merasa enggan menegur anak didik yang tidak sopan di sekolah. Anak didika seringkali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesame teman, bahkan ada sekolah yang tidak berani mengeluarkan anak didiknya yang sudah jelas- jelas menggunakan naarkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kurikulum mulok sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Materi tersebut diintegrasikan kedalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn dan agama. Rasanya masih kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah amat mahal dan langka pada masa kini.
Bagaimanapun, krisis mentalitas, moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan krisis-krisis lain yang dihadapi pendidikan nasional kita umunya. Karena itu, kalau kita mau menilai secara lebih adil dan fair—meskipun makro—krisis mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umunya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan moral di antara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan---khususnya jenjang menengah dan tinggi—bagaimanapun, merupakan cermin dari krisis mentalitas dan moral dalam measyarakat lebih luas.Sebab itu pula, bisa pula diasumsikan, bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu, tidak memadai jika dilakukan hanya di lingkungan sekolah. Kita harus menyembuhkan krisis mental dan moral dalam masyarakat luas; dalam rumahtangga dan lingkungan lainnya.
Meski demikian, sekolah bukan tidak berkewajiban untuk memulai upaya mengatasi krisis mentalitas dan moral itu, setidaknya dengan memulainya di lingkungannya sendiri. Walaupun upaya itu belum tentu dapat menyembuhkan semua krisis, tetapi karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam masyarakat, upaya sekolah dapat menjadi titik pusat dan awal dari usaha penyembuhan krisis dalam masyarakat kita secara menyeluruh.
Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkadung dalam pendidikan agama dan matapelajaran-matapelajaran lain. Tetapi kandungan “budi pekerti” tersebut tidak bisa teraktualisasikan karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih menekankan pengisian aspek kognitif daripada aspek afektif (budi pekerti).
Hasil perumusan Depdiknas (2000) dan Depag (2000) dalam jurnal Prof. Dr. Azyumardi Azra menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti bukan menjadi mata pelajaran tersendiri (monolitik), tetapi merupakan program pendidikan terpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan, pembiasan, bimbingan dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Pendidikan budi pekerti dengan demikian diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan agama dan PPKN. Seperti dapat terlihat, rincian nilai-nilai budi pekerti yang diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai keagamaan dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa.
Rumusan-rumusan ini menekankan bahwa pendidikan budi pekerti yang integratif tersebut merupakan tanggung jawab seluruh pihak; sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, khususnya sekolah sebagai sarana pendidikan yang mempunyai peranan yang sangat penting untuk kelangsungan proses pendidikan yang menjadi tujuan utama dalam proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. Sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan oleh adanya pengalaman belajar yang optimal tersebut, disini jelas dalam menerapkan sikap budi pekerti yang baik pada siswa guru juga harus memberikan contoh secara langsung dengan berperilaku yang baik pula, guru tidak boleh hanya menyuruh siswa namun juga memberikan contoh sikap yang baik pula.Menumbuhkan minat membaca adalah suatu hal yang akan selalu mengemuka. Rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Dampak yang dirasakan saat ini adalah menurunnya minat membaca terutama dikalangan pelajar, dampaknya antara lain berupa misalnya orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca pasti akan tertinggal dari informasi yang bersifat ilmiah. Buku berbeda dengan televisi, karena televise hanya memberikan informasi yang terbatas, sifatnyapun tidak kekal, dan cenderung mudah dilupakan apabila ada informasi yang lebih terbaru.
Dalam ranah kehidupan, baik secara pribadi maupun sosial, membaca memegang peranan penting untuk percepatan efektivitas kehidupan. Dalam jurnal Samsuri (2016), Covey menegaskan bahwa satu dari tujuh karakter pribadi yang sangat efektif adalah orang selalu mengasah gergaji (sharpener the saw). Dengan selalu mengasah gergaji maka seseorang akan menjadi selalu meningkat (upgrade) dan selalu terbarukan (update) dalam pemikiran (mindset), keterampilan (skills), sikap (uptitude), dan kebiasaan (habit). Sikap dan kebiasaan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Budi pekerti dalam pengertian yang terluas adalah pendidikan, dengan kata lain budi pekerti mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk tindakan. Penerapan tindakan berarti memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup yang sangat berperan dalam pembelajaran budi pekerti. Salah satu cara penanaman budi pekerti pada anak dapat melalui buku-buku cerita.
Penumbuhan budi pekerti dapat dimulai sikap suka untuk melakukan sesuatu. Cara yang dapat dilakukan dengan pembiasaan dan latihan. Pembiasaan dalam pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Komitmen keempat pihak di atas sangat dibutuhkan untuk membangun persepsi positifdemi terwujudnya pendidikan yang efektif. Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif akan membantu penumbuhan budi pekerti.
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai. Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di Indonesia.
Penanaman nilai- nilai budi pekerti di sekolah untuk saat ini memang sudah mengalami kemunduran. Data empiris membuktikan bahwa gurupun sudah merasa enggan menegur anak didik yang tidak sopan di sekolah. Anak didika seringkali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesame teman, bahkan ada sekolah yang tidak berani mengeluarkan anak didiknya yang sudah jelas-jelas menggunakan narkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kurikulum mulok sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Materi tersebut diintegrasikan kedalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn dan agama. Rasanya masih kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah amat mahal dan langka pada masa kini.
Bagaimanapun, krisis mentalitas, moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan krisis-krisis lain yang dihadapi pendidikan nasional kita umunya. Karena itu, kalau kita mau menilai secara lebih adil dan fair—meskipun makro—krisis mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umunya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan moral di antara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan---khususnya jenjang menengah dan tinggi—bagaimanapun, merupakan cermin dari krisis mentalitas dan moral dalam measyarakat lebih luas.Sebab itu pula, bisa pula diasumsikan, bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu, tidak memadai jika dilakukan hanya di Menumbuhkan minat membaca adalah suatu hal yang akan selalu mengemuka. Rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. terutama pada kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Dampak yang dirasakan saat ini adalah menurunnya minat membaca terutama dikalangan pelajar, dampaknya antara lain berupa misalnya orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca pasti akan tertinggal dari informasi yang bersifat ilmiah. Buku berbeda dengan televisi, karena televise hanya memberikan informasi yang terbatas, sifatnyapun tidak kekal, dan cenderung mudah dilupakan apabila ada informasi yang lebih terbaru.
Dalam ranah kehidupan, baik secara pribadi maupun sosial, membaca memegang peranan penting untuk percepatan efektivitas kehidupan. Dalam jurnal Samsuri (2016), Covey menegaskan bahwa satu dari tujuh karakter pribadi yang sangat efektif adalah orang selalu mengasah gergaji (sharpener the saw). Dengan selalu mengasah gergaji maka seseorang akan menjadi selalu meningkat (upgrade) dan selalu terbarukan (update) dalam pemikiran (mindset), keterampilan (skills), sikap (uptitude), dan kebiasaan (habit). Sikap dan kebiasaan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Budi pekerti dalam pengertian yang terluas adalah pendidikan, dengan kata lain budi pekerti mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk tindakan. Penerapan tindakan berarti memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup yang sangat berperan dalam pembelajaran budi pekerti. Salah satu cara penanaman budi pekerti pada anak dapat melalui buku-buku cerita.
Penumbuhan budi pekerti dapat dimulai sikap suka untuk melakukan sesuatu. Cara yang dapat dilakukan dengan pembiasaan dan latihan. Pembiasaan dalam pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, peserta didik, sekolah, dan masyarakat. Komitmen keempat pihak di atas sangat dibutuhkan untuk membangun persepsi positifdemi terwujudnya pendidikan yang efektif. Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif akan membantu penumbuhan budi pekerti.
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai. Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di Indonesia.
Penanaman nilai- nilai budi pekerti di sekolah untuk saat ini memang sudah mengalami kemunduran. Data empiris membuktikan bahwa gurupun sudah merasa enggan menegur anak didik yang tidak sopan di sekolah. Anak didika seringkali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesame teman, bahkan ada sekolah yang tidak berani mengeluarkan anak didiknya yang sudah jelas- jelas menggunakan naarkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kurikulum mulok sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Materi tersebut diintegrasikan kedalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn dan agama. Rasanya masih kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah amat mahal dan langka pada masa kini.
Bagaimanapun, krisis mentalitas, moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan krisis-krisis lain yang dihadapi pendidikan nasional kita umunya. Karena itu, kalau kita mau menilai secara lebih adil dan fair—meskipun makro—krisis mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umunya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan moral di antara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan---khususnya jenjang menengah dan tinggi—bagaimanapun, merupakan cermin dari krisis mentalitas dan moral dalam measyarakat lebih luas.Sebab itu pula, bisa pula diasumsikan, bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu, tidak memadai jika dilakukan hanya di lingkungan sekolah. Kita harus menyembuhkan krisis mental dan moral dalam masyarakat luas; dalam rumahtangga dan lingkungan lainnya.
Meski demikian, sekolah bukan tidak berkewajiban untuk memulai upaya mengatasi krisis mentalitas dan moral itu, setidaknya dengan memulainya di lingkungannya sendiri. Walaupun upaya itu belum tentu dapat menyembuhkan semua krisis, tetapi karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam masyarakat, upaya sekolah dapat menjadi titik pusat dan awal dari usaha penyembuhan krisis dalam masyarakat kita secara menyeluruh.
Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkadung dalam pendidikan agama dan matapelajaran-matapelajaran lain. Tetapi kandungan “budi pekerti” tersebut tidak bisa teraktualisasikan karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih menekankan pengisian aspek kognitif daripada aspek afektif (budi pekerti).
Hasil perumusan Depdiknas (2000) dan Depag (2000) dalam jurnal Prof. Dr. Azyumardi Azra menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti bukan menjadi mata pelajaran tersendiri (monolitik), tetapi merupakan program pendidikan terpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan, pembiasan, bimbingan dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Pendidikan budi pekerti dengan demikian diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan agama dan PPKN. Seperti dapat terlihat, rincian nilai-nilai budi pekerti yang diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai keagamaan dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa.
Rumusan-rumusan ini menekankan bahwa pendidikan budi pekerti yang integratif tersebut merupakan tanggung jawab seluruh pihak; sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, khususnya sekolah sebagai sarana pendidikan yang mempunyai peranan yang sangat penting untuk kelangsungan proses pendidikan yang menjadi tujuan utama dalam proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. Sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan oleh adanya pengalaman belajar yang optimal tersebut, disini jelas dalam menerapkan sikap budi pekerti yang baik pada siswa guru juga harus memberikan contoh secara langsung dengan berperilaku yang baik pula, guru tidak boleh hanya menyuruh siswa namun juga memberikan contoh sikap yang baik pula.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Wakil Kepala Sekolah SD Negeri Pekunden Semarang yaitu Bapak Subagyo, S.Pd. pada tanggal 17 Oktober 2017, sebagian besar siswa memiliki minat baca yang rendah dan terkadang masih belum mampu menerapkan nilai-nilai budi pekerti sebelum diadakannya Gerobak Baca sebagai salah satu media yang digunakan untuk kegiatan literasi di sekolah.
Alasan peneliti memilih judul seperti diatas yaitu karena peneliti ingin mengetahui nilai-nilai budi pekerti apa sajakah yang terkandung dalam proses budaya membaca melalui Gerobak Baca, dan apakah dengan adanya Gerobak Baca mampu meningkatkan minat baca siswa serta menumbuhkan budi pekerti siswa SD Negeri Pekunden Semarang.